Sebuah penelitian dari
National Association of College and Employee (NACE)
2002 menempatkan indeks prestasi kumulatif (IPK) di
perguruan tinggi (PT) pada urutan ke-17. IPK kalah
oleh kemampuan komputer, kemampuan berorganisasi,
kepemimpinan, kepercayaan diri, ramah, sopan, dan
bijaksana. Namun kemampuan komunikasi, bekerja sama,
interpersonal, etika, inisiatif, adaptasi, dan
analitik lebih penting daripada komputer. Bisa jadi
ada keraguan bahwa IPK tinggi adalah bagus, demikian
sebaliknya.
Perolehan IPK tinggi mulai diragukan oleh banyak
kalangan. Dampaknya, konsumen cenderung tidak terlalu
bersemangat merekrut alumni PT yang IPK-nya terlalu
tinggi. Bisa jadi IPK malah menyulitkan dalam setiap
penyelesaian pekerjaan lantaran egoisme diri tiap-tiap
individu terlalu tinggi sehingga mengabaikan kerja
sama dengan orang lain yang menjadi mitranya. Tentu
hal ini akan merugikan konsumen sebagai lembaga
sehingga produktivitas menjadi terganggu. Konsumen pun
pindah mencari figur yang dipandangnya mampu
mempertinggi produktivitas dan kemampuan team work
sebagai primadona baru seperti halnya soft skill.
Dalam dunia publik, posisi kesarjanaan menjadi penting
untuk karier para pejabatnya. Fenomena tersebut
didorong pula dengan persyaratan untuk menempati pos
lebih tinggi dengan gelar kesarjanaan mulai dari
strata 1 sampai strata 3. Bagi kalangan ini, soft
skill bukan hal yang asing termasuk berhadapan dengan
para pengajarnya. Dampak paling dekat, bisa jadi
kemampuan memperoleh IPK bagus bagi sebagian orang
cenderung disebabkan oleh soft skill-nya.
Kalangan mahasiswa muda (MM) sering kalah oleh
kalangan mahasiswa pegawai (MP) kendati kalangan
terakhir agak sulit membagi waktu kuliah dengan
bekerjanya. Bisa saja MP yang pejabat lebih diramahi
dosennya karena posisi publiknya. Tetapi tidak bisa MM
mengimitasi yang MP. Bagi MP kuliah dan lulus menjadi
persyaratan administratif untuk kariernya, sementara
bagi MM menjadi bekal hidupnya kelak dalam menjalani
hidup dan kehidupannya.
Dampak image bisa ke motivasi kuliah. Kejaran terhadap
nilai dan cepat lulus sering kali membuat MM lupa
bahwa ilmu dan wawasan menjadi lebih penting daripada
sekadar nilai tinggi. Cum laude mestinya ditafsirkan
sebagai penguasaan wawasan dan kekayaan sosial pun
menjadi paripurna. Kecenderungan konsumen mencari
pemilik soft skill mestinya mendorong MM menjadi
mahasiswa aktivis. Namun perlu dihindari kepercayaan
diri yang terlampau tinggi ketika menjadi aktivis
sehingga mengabaikan lingkungan sekitar. Pengabaian
ini bisa menciptakan stigma buruk sebagai mahasiswa
yang sombong dan meremehkan orang lain.
Pemupukan soft skill tentu melibatkan lembaga terkait
selevel Pembantu Rektor III, Pembantu Dekan III
ataupun Jurusan/Program Studi. Pembinaan dilakukan
supaya soft skill tidak melenceng menjadi kesombongan
pihak yang merasa memilikinya. Keterlibatan aktif
pembina, akan menyemarakkan kegiatan kemahasiswaan.
Tidak lagi terjadi mahasiswa aktif ketika penerimaan
mahasiswa baru dan musim ospek saja, sementara dalam
waktu yang lebih panjang paceklik dari kegiatan
kemahasiswaan. Mungkin tidak lagi terjadi organisasi
kemahasiswaan semacam HIMA, BEM, dan Senat sepi
peminat yang berdampak sepi pula kegiatannya.
Soft skill memang tidak ditentukan oleh prestasi
akademik (misalnya lulus cum laude) atau masa studi
singkat, seperti dikemukakan oleh Prof. Chaedar,
tetapi lebih dipengaruhi oleh sifat-sifat
kepemimpinan, kreativitas, kerapian tampilan, dan
kecerdasan sosial. Oleh sebab itu, beliau memandang
program BEM dan UKM menjadi program pemberdayaan
kapasitas sehingga disampaikannya tujuh prinsip yang
dapat dilakukan, mulai dari peningkatan kemampuan
kolektif, demokratisasi pengetahuan, keberpihakan pada
lingkungan masyarakat, perubahan pola pikir, komitmen
tanpa paksaan, sebagai subjek kegiatan, dan integrasi
hasil program dan kegiatan nyata ("PR", 15/05/07).
Asal Bapak(nya) Senang
Kemampuan menguliahkan anak ke PT tampaknya menjadi
ukuran status sosial kiwari. Memiliki anak kuliahan
cenderung lebih tinggi statusnya dibandingkan dengan
orang tua yang hanya mampu menyekolahkan sampai SLTA.
Demikian halnya kemampuan orang tua memiliki anak di
fakultas favorit lebih bangga ketimbang di fakultas
pasaran. Dampaknya sering kali orangtua menghendaki
anaknya agar kuliah di fakultas yang favorit.
Pandangan ini berkembang demikian luas ketika fenomena
sarjana mampu merebut pasaran kerja terus berkembang.
Dampaknya yang perlu dipikirkan adalah kecenderungan
anak kuliah demi memenuhi keinginan orang tua tanpa
mempertimbangkan potensi diri dan minat-bakatnya.
Posisi runding anak yang menjadi mahasiswa dengan
orang tuanya bisa menjadi tinggi ketika anak menjadi
kebanggaan orang tuanya. Untuk meraih nilai bagus bisa
tidak harus cerdas dengan kehadiran semester pendek
(SP) yang diplesetkan dengan semester pengampunan.
Dosen menjadi gamang untuk memberikan nilai buruk
dalam SP.
Dengan vakasi dan honorarium yang lebih tinggi, seakan
SP menjadi lebih menarik untuk dipertahankan oleh
sebagian komponen dosen. Kendati namanya berganti
menjadi semester alih tahun (SAT), image-nya masih
seperti yang dulu. Tentu saja hal ini memberikan
stigma yang kurang baik bagi dunia pendidikan tinggi
sehingga tidak sedikit kalangan berpendapat bahwa SP
ataupun SAT menjadi hama pendidikan.
Mungkin SAT dapat dimanfaatkan oleh oknum mahasiswa
ataupun oknum dosen untuk meraih untung beliung. Bisa
saja ada mahasiswa meminta uang lebih besar ketimbang
biaya SKS dalam SAT. Atau dapat terjadi oknum dosen
memperketat nilai di semester reguler untuk digiring
ke SAT. Dampaknya permainan akademik yang berbuntut
uang akan beranak pinak. Bila dibiarkan, kondisi ini
menjadi benih kebusukan di kemudian hari.
Komersialisasi pada dunia pekerjaan publik dapat
berhubungan dengan proses belajar di dunia pendidikan.
Kehidupan sosial yang bertumpu pada kegiatan
kelembagaan mahasiswa bisa berkurang, tergantikan
kehidupan yang lebih bernuansa uang.
Perubahan pola pikir
Perubahan ini dilakukan dengan beberapa hal.
Pertama, mengubah pandangan asal bapaknya senang.
Bakat dan minat anak berbeda sehingga tidak bisa
didorong untuk memenuhi prestise orang tua. Menghargai
kreativitas dan kecerdasan adalah kebutuhan yang perlu
dibangun secara kontinu. Mungkin saja ini akan menjadi
seleksi alam untuk membangun kelompok manusia mandiri
dan produktif. Ke depan perlu banyak variasi dan
keseimbangan antara pelaku kerja yang berhubungan
dengan orang serta yang tidak. Bisa jadi yang tidak
berhubungan dengan orang tidak membutuhkan soft skill
seperti laiknya pekerja yang selalu berhadapan dengan
orang.
Kedua, penghargaan terhadap material dapat menyebabkan
orang silau dan kabobodo tenjo kasamaran tingal. Soft
skill "katak" terbangun dalam komunitas seperti itu.
Menghargai prestasi dan kesederhanaan perlu
dikedepankan. Orang tidak dihormati lantaran mobil
bagus dan rumah mewah, tetapi dari kesalehan
sosialnya, tepo saliro, sareundeuk saigel sabobot
sapihanean. Bisa jadi kemewahan diperoleh melalui
kemurtadan sosial, urang seubeuh batur riweuh. Hidup
sebagai makhluk sosial yang membutuhkan lingkungan
perlu terus dipompakan dalam setiap nafas agar tidak
melupakan tetangga, baraya dan yang malarat.
Ketiga, meminimalisasi komersialisasi pendidikan.
Tokoh pendidikan, pemuka agama, dan tokoh masyarakat
adalah figur-figur keteladanan yang gerak-geriknya
menjadi anutan. Penggiringan ke SAT dan melakukan
bargaining dengan mahasiswa yang berujung uang bisa
membahayakan citra dunia yang seharusnya suci ini. MP
dan dosen pun berkewajiban menjaga citra pendidikan
agar nilai dan kelancaran studi tidak ditukar dengan
sejumlah kegiatan komersil. Tugas pemuka agama untuk
menjadi benteng pertahanan moral. Ketika pemuka agama
ada dalam dunia pendidikan ataupun politik, tentu
diharapkan dapat menaburkan rahmatan lil alamin dan
menyucikan dunia tersebut. Tokoh masyarakat lainnya
juga perlu mengajarkan nilai-nilai kesalehan sosial
dalam kehidupannya sehari-hari yang menjadi panduan
masyarakat sekaligus melakukan kontrol.
Soft skill tidak hanya perlu dimiliki mahasiswa,
tetapi juga pejabat, pemuka masyarakat, agamawan, dan
juga elemen masyarakat lainnya. Soft skill pendukung
etika dan moral bisa membuat hidup lebih gemah ripah
repeh rapih yang didasari oleh sikap landung kandungan
laer aisan. Ketika sulit dibangun seperti itu, bisa
jadi soft skill "katak" yang sedang berkembang biak.
Semoga tidak terjadi. Amin!***
Penulis, Lektor Kepala pada Jurusan Ilmu Administrasi
Negara FISIP Unpad serta Sekretaris LP3AN Unpad
Bandung.
National Association of College and Employee (NACE)
2002 menempatkan indeks prestasi kumulatif (IPK) di
perguruan tinggi (PT) pada urutan ke-17. IPK kalah
oleh kemampuan komputer, kemampuan berorganisasi,
kepemimpinan, kepercayaan diri, ramah, sopan, dan
bijaksana. Namun kemampuan komunikasi, bekerja sama,
interpersonal, etika, inisiatif, adaptasi, dan
analitik lebih penting daripada komputer. Bisa jadi
ada keraguan bahwa IPK tinggi adalah bagus, demikian
sebaliknya.
Perolehan IPK tinggi mulai diragukan oleh banyak
kalangan. Dampaknya, konsumen cenderung tidak terlalu
bersemangat merekrut alumni PT yang IPK-nya terlalu
tinggi. Bisa jadi IPK malah menyulitkan dalam setiap
penyelesaian pekerjaan lantaran egoisme diri tiap-tiap
individu terlalu tinggi sehingga mengabaikan kerja
sama dengan orang lain yang menjadi mitranya. Tentu
hal ini akan merugikan konsumen sebagai lembaga
sehingga produktivitas menjadi terganggu. Konsumen pun
pindah mencari figur yang dipandangnya mampu
mempertinggi produktivitas dan kemampuan team work
sebagai primadona baru seperti halnya soft skill.
Dalam dunia publik, posisi kesarjanaan menjadi penting
untuk karier para pejabatnya. Fenomena tersebut
didorong pula dengan persyaratan untuk menempati pos
lebih tinggi dengan gelar kesarjanaan mulai dari
strata 1 sampai strata 3. Bagi kalangan ini, soft
skill bukan hal yang asing termasuk berhadapan dengan
para pengajarnya. Dampak paling dekat, bisa jadi
kemampuan memperoleh IPK bagus bagi sebagian orang
cenderung disebabkan oleh soft skill-nya.
Kalangan mahasiswa muda (MM) sering kalah oleh
kalangan mahasiswa pegawai (MP) kendati kalangan
terakhir agak sulit membagi waktu kuliah dengan
bekerjanya. Bisa saja MP yang pejabat lebih diramahi
dosennya karena posisi publiknya. Tetapi tidak bisa MM
mengimitasi yang MP. Bagi MP kuliah dan lulus menjadi
persyaratan administratif untuk kariernya, sementara
bagi MM menjadi bekal hidupnya kelak dalam menjalani
hidup dan kehidupannya.
Dampak image bisa ke motivasi kuliah. Kejaran terhadap
nilai dan cepat lulus sering kali membuat MM lupa
bahwa ilmu dan wawasan menjadi lebih penting daripada
sekadar nilai tinggi. Cum laude mestinya ditafsirkan
sebagai penguasaan wawasan dan kekayaan sosial pun
menjadi paripurna. Kecenderungan konsumen mencari
pemilik soft skill mestinya mendorong MM menjadi
mahasiswa aktivis. Namun perlu dihindari kepercayaan
diri yang terlampau tinggi ketika menjadi aktivis
sehingga mengabaikan lingkungan sekitar. Pengabaian
ini bisa menciptakan stigma buruk sebagai mahasiswa
yang sombong dan meremehkan orang lain.
Pemupukan soft skill tentu melibatkan lembaga terkait
selevel Pembantu Rektor III, Pembantu Dekan III
ataupun Jurusan/Program Studi. Pembinaan dilakukan
supaya soft skill tidak melenceng menjadi kesombongan
pihak yang merasa memilikinya. Keterlibatan aktif
pembina, akan menyemarakkan kegiatan kemahasiswaan.
Tidak lagi terjadi mahasiswa aktif ketika penerimaan
mahasiswa baru dan musim ospek saja, sementara dalam
waktu yang lebih panjang paceklik dari kegiatan
kemahasiswaan. Mungkin tidak lagi terjadi organisasi
kemahasiswaan semacam HIMA, BEM, dan Senat sepi
peminat yang berdampak sepi pula kegiatannya.
Soft skill memang tidak ditentukan oleh prestasi
akademik (misalnya lulus cum laude) atau masa studi
singkat, seperti dikemukakan oleh Prof. Chaedar,
tetapi lebih dipengaruhi oleh sifat-sifat
kepemimpinan, kreativitas, kerapian tampilan, dan
kecerdasan sosial. Oleh sebab itu, beliau memandang
program BEM dan UKM menjadi program pemberdayaan
kapasitas sehingga disampaikannya tujuh prinsip yang
dapat dilakukan, mulai dari peningkatan kemampuan
kolektif, demokratisasi pengetahuan, keberpihakan pada
lingkungan masyarakat, perubahan pola pikir, komitmen
tanpa paksaan, sebagai subjek kegiatan, dan integrasi
hasil program dan kegiatan nyata ("PR", 15/05/07).
Asal Bapak(nya) Senang
Kemampuan menguliahkan anak ke PT tampaknya menjadi
ukuran status sosial kiwari. Memiliki anak kuliahan
cenderung lebih tinggi statusnya dibandingkan dengan
orang tua yang hanya mampu menyekolahkan sampai SLTA.
Demikian halnya kemampuan orang tua memiliki anak di
fakultas favorit lebih bangga ketimbang di fakultas
pasaran. Dampaknya sering kali orangtua menghendaki
anaknya agar kuliah di fakultas yang favorit.
Pandangan ini berkembang demikian luas ketika fenomena
sarjana mampu merebut pasaran kerja terus berkembang.
Dampaknya yang perlu dipikirkan adalah kecenderungan
anak kuliah demi memenuhi keinginan orang tua tanpa
mempertimbangkan potensi diri dan minat-bakatnya.
Posisi runding anak yang menjadi mahasiswa dengan
orang tuanya bisa menjadi tinggi ketika anak menjadi
kebanggaan orang tuanya. Untuk meraih nilai bagus bisa
tidak harus cerdas dengan kehadiran semester pendek
(SP) yang diplesetkan dengan semester pengampunan.
Dosen menjadi gamang untuk memberikan nilai buruk
dalam SP.
Dengan vakasi dan honorarium yang lebih tinggi, seakan
SP menjadi lebih menarik untuk dipertahankan oleh
sebagian komponen dosen. Kendati namanya berganti
menjadi semester alih tahun (SAT), image-nya masih
seperti yang dulu. Tentu saja hal ini memberikan
stigma yang kurang baik bagi dunia pendidikan tinggi
sehingga tidak sedikit kalangan berpendapat bahwa SP
ataupun SAT menjadi hama pendidikan.
Mungkin SAT dapat dimanfaatkan oleh oknum mahasiswa
ataupun oknum dosen untuk meraih untung beliung. Bisa
saja ada mahasiswa meminta uang lebih besar ketimbang
biaya SKS dalam SAT. Atau dapat terjadi oknum dosen
memperketat nilai di semester reguler untuk digiring
ke SAT. Dampaknya permainan akademik yang berbuntut
uang akan beranak pinak. Bila dibiarkan, kondisi ini
menjadi benih kebusukan di kemudian hari.
Komersialisasi pada dunia pekerjaan publik dapat
berhubungan dengan proses belajar di dunia pendidikan.
Kehidupan sosial yang bertumpu pada kegiatan
kelembagaan mahasiswa bisa berkurang, tergantikan
kehidupan yang lebih bernuansa uang.
Perubahan pola pikir
Perubahan ini dilakukan dengan beberapa hal.
Pertama, mengubah pandangan asal bapaknya senang.
Bakat dan minat anak berbeda sehingga tidak bisa
didorong untuk memenuhi prestise orang tua. Menghargai
kreativitas dan kecerdasan adalah kebutuhan yang perlu
dibangun secara kontinu. Mungkin saja ini akan menjadi
seleksi alam untuk membangun kelompok manusia mandiri
dan produktif. Ke depan perlu banyak variasi dan
keseimbangan antara pelaku kerja yang berhubungan
dengan orang serta yang tidak. Bisa jadi yang tidak
berhubungan dengan orang tidak membutuhkan soft skill
seperti laiknya pekerja yang selalu berhadapan dengan
orang.
Kedua, penghargaan terhadap material dapat menyebabkan
orang silau dan kabobodo tenjo kasamaran tingal. Soft
skill "katak" terbangun dalam komunitas seperti itu.
Menghargai prestasi dan kesederhanaan perlu
dikedepankan. Orang tidak dihormati lantaran mobil
bagus dan rumah mewah, tetapi dari kesalehan
sosialnya, tepo saliro, sareundeuk saigel sabobot
sapihanean. Bisa jadi kemewahan diperoleh melalui
kemurtadan sosial, urang seubeuh batur riweuh. Hidup
sebagai makhluk sosial yang membutuhkan lingkungan
perlu terus dipompakan dalam setiap nafas agar tidak
melupakan tetangga, baraya dan yang malarat.
Ketiga, meminimalisasi komersialisasi pendidikan.
Tokoh pendidikan, pemuka agama, dan tokoh masyarakat
adalah figur-figur keteladanan yang gerak-geriknya
menjadi anutan. Penggiringan ke SAT dan melakukan
bargaining dengan mahasiswa yang berujung uang bisa
membahayakan citra dunia yang seharusnya suci ini. MP
dan dosen pun berkewajiban menjaga citra pendidikan
agar nilai dan kelancaran studi tidak ditukar dengan
sejumlah kegiatan komersil. Tugas pemuka agama untuk
menjadi benteng pertahanan moral. Ketika pemuka agama
ada dalam dunia pendidikan ataupun politik, tentu
diharapkan dapat menaburkan rahmatan lil alamin dan
menyucikan dunia tersebut. Tokoh masyarakat lainnya
juga perlu mengajarkan nilai-nilai kesalehan sosial
dalam kehidupannya sehari-hari yang menjadi panduan
masyarakat sekaligus melakukan kontrol.
Soft skill tidak hanya perlu dimiliki mahasiswa,
tetapi juga pejabat, pemuka masyarakat, agamawan, dan
juga elemen masyarakat lainnya. Soft skill pendukung
etika dan moral bisa membuat hidup lebih gemah ripah
repeh rapih yang didasari oleh sikap landung kandungan
laer aisan. Ketika sulit dibangun seperti itu, bisa
jadi soft skill "katak" yang sedang berkembang biak.
Semoga tidak terjadi. Amin!***
Penulis, Lektor Kepala pada Jurusan Ilmu Administrasi
Negara FISIP Unpad serta Sekretaris LP3AN Unpad
Bandung.